Sejarah islam Asia Tenggara

Sejarah islam Asia Tenggara


BAB. I
PENDAHULUAN



1.1       LATAR BELAKANG
Proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya. Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.

Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern.

Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.



BAB. II
PEMBAHASAN


2.1       AWAL SEJARAH ISLAM  DINUSANTARA


Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.

Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara, Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.

2.2       MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA MENURUT
WILAYAH

Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang. Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.

2.2.1    Islam di Sumatera Utara
Masjid di Sumatera Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.

Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".

Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).

Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam. Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.

Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.

Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.

2.2.2    Jawa Tengah dan Jawa Timur

Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.  Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.

Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.

Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.

Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle, mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.

Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.

2.2.3    Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam. Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik." Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.

2.2.4    Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.

2.3       LEGENDA NUSANTARA DAN MELAYU
Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[ Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini. Sumber-sumber ini termasuk:
2.4       KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
                    
Agama Islam mulai berkembang di jazirah Arab pada tahun 622 M. Mula – mula, Agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, setelah beliau mendapat wahyu dari ALLAH SWT. Dalam waktu singkat, Agama Islam tersebar luas di Indonesia. Waktu itu, kekuatan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya sudah mulai melemah. Kerajaan – kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya mulai mlepaskan diri dan raja – rajanya memeluk Agama Islam. Setelah itu, bermunculan Kerajaan Islam di Indonesia.
                                                                           
2.4.1    Kerajaan Samudra Pasai

Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Kerajaan Islam yang pertama muncul di Indosenia ialah Kerajaan Samudra pasai. Kerajaan ini terletak di Pantai Timur Sumatra, sekitar Sungai Jambu Air dan Sungai Pasai, daerah Lhokseumawe.
Pada awalnya, Kerajaan Samudra Pasai terdiri atas 2 Daerah, yaitu Samudra dan Pasai. Kedua daerah itu telah lama menjadi persinggahan dan bermukim para saudagar
dari Arab, Persia, dan India. Sesudah kekuasaan Islam muncul, kedua daerah ini disatukan menjadi Kerajaan Samudra Pasai.


2.4.2    Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-16. Kerajaan ini terletak di tepi Selat Malaka. Pusat Kerajaan Aceh terdapat dikutara (banda Aceh sekarang). Pada tahun 1511 M, bangsa portugis menguasai Malaka. Dari Malaka, Portugis kemudian menguasai Samudra Pasai. Sejak itu, para pedagang Islam mencari pelabuhan lain untuk menghindari Portugis. Pelabuhan baru itu adalah Aceh. Dari sinilah muncul Kerajaan baru, yaitu Kerajaan Aceh.
                                  
2.4.3    Kerajaan Demak

Pada abad ke-16 muncul kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Semula Demak merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Keika Majapahit runtuh akibat perang saudara pada tahun 1478, pusat kerajaan Hindu berpindah ke kuling dan akhirnya ke Daha (Kediri). Runtuhnya Majapahit menyebabkan bangkitnya Demak menjadi kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.


2.4.4      Kerajaan Banten

Pada awal abad ke-16, daerah  jawa Barat dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Dalam waktu yang singkat, seluruh pantai utara Jawa Barat dapat dikuasai oleh Fatahillah. Agama Islam lambat laun tersebar di Jawa Barat. Fatahillah kemudian menjadi wali dan mendapat gelar Sunan Gunung Jati dan berkedudukan di Cirebon. Pada tahun 1522, putera Fatahillah yang bernama Hasanuddin diangkat menjadi penguasa di Banten. Fatahillah sendiri mendirikan pusat kegiatan keagamaan di Gunung Jati, Cirebon, sampai beliau wafat pada tahun 1570. Jadi pada awalnya, kerajaan Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Demak.

2.4.5    Kerajaan ternate dan Tidore               

Sejak abad ke-13, maluku sudah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam dari Jaawa dan Melayu.seiring dengan ramainya perdagangan, berdatanglah pula para mubaligh dari Jawa Timur untuk mengajarkan Agama Islam. Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapatkan pengaruh Islam dari para pedagang Jawa dan Melayu. Selain Kerajaan Ternate, juga terdapat Kerajaan Tidore. Raja tidore yang terkenal ialah Pangeran Nuku.



2.5       PENINGGALAN KERAJAAN  ISLAM DINUSANTARA

Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-11 sampai ke-13. Hal ini dibuktikan dengan berita Marco Polo (1297) dan berita Inbu Batutah abad ke-14. Sebagaimana kerajaan Hindu dan Budha, kerajaan Islam di Indonesia juga mninggalkan berbagai peninggalan sejarah peninggalan itu berupa bangunan tempat ibadah, makam atau kuburan, pondok perastren , dan lain-lain.

                                                                                
2.5.1    Peinggalan berupa masjid

Sejarah islam Asia TenggaraSejarah islam Asia Tenggara
Masjid merupakan tempat ibdah bagi umat Muslim, berikut adalah masjid peninggalan kerajaan Islam.

1.        Masjid Raya Baiturrahman

                                   


2.        Masjid Raya Medan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSLqgFEu5JpzFzw7sbuY4Eklycxl6w3CLA4jw_bew0tgApnAtlAzw0Y_AFvnziLa-7ntsNhIviPzAP6EhjFmTRiOuiz8fdgbWefVh5WVQRoV83FY-8CqoH8xUKQu3x3z51GYBQ6YsU32s/s320/Masjid-Raya-Medan-Akbar1.jpg
      
3.        Masjid Raya Banten

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_dvt8YrcCSyzlJuE5kLCjxTc2vJJPH4qOpCGed07-kS_PR8iouCDs6gWpWoPdiTEXVdp5lcuxFAukuB5wDRvnXy-3YC8_-52unkC4Qs2Bodxac7TEzt9bgU6Lf9fqfhJlMklhJMVZQEc/s320/Masjid+Agung+Banten.jpg
       
4.        Masjid Demak

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfuI3lyY16_BuCxfni5s9nbna256cZFXYxcmsH1b82flWQhlwqAeV-NVid4OuFOY67l1Z50lxBht30P7iQwrig0jvoPOmgG4X83BYLy2O8eYscZOyPwpwW54Od2n_IYMwHW2N6Krxx93A/s320/masjid+demak.gif
       





5.        Masjid Agung  Yogyakarta

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAZjTVEYgYoItSsYEirNZ2hyzC-RS6Kk6c6poiTfYBOlrZvkqdtdUqOxTev7nD7A2D-bSslnxv0d39Z6G031g6GjPgbgXqbd8SAEsfjm4AzdwILjVK86QHOArepOmu7aOFAuGCDelYJBg/s320/masjid+agung+yogyakarta.jpg
                                                                                                   


2.5.2    Peninggalan berupa istana

Istana raja pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, serta pembesar kerajaan lainnya. Beberapa istana peninggalan sejarah berorak Islam.

1.       Istana Maemun

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhA10Fgb-rq9R-SAGjSHUWwpnLw0c1jLhyTtcnObXIkCncHzHVB9mmH7Lt6CwFay9pNmchvgjU945jqTu7jPV3H_63vvDa8dqZSgWg7QenWDRowuPpEdEFk6EJbfbVpcFBAzRFnpeFp1vo/s320/istana_maimun.jpg
       
2.       Istana Siak Sri Inderapura                              

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo59K4c5dzV1oQ9StLBnw6TALhRIrth58Mts3dJWSCs26f_k1TaJhTR3_wHAdld2WhQX-PnjBpFoZsmHnnvWsFBkgqs2BgXQ9VCADt8fQYyRvfJ-G-iKvvhvlxM3PYP_0uLJoGOrYzJ5c/s320/2-IstanaSak.jpg

3.       Keraton Yogyakarta  

     
  
2.5.3          Peninggala berupa budaya

Masuknya Islam ke – Indonesia membawa pengaruh pada kebiasaan dan prilaku masyarakat. Kebiasaan atau prilaku masyarakat disebut budaya. Beberapa budaya yang bercorak Islam di Indonesia.
                               
1.        Upacara Grebeg Besar di Demak. Upacara ini dilaksanakan bertepatan Hari
Raya Idul Adha atau Idul Qurban.

2.        Pesta Tabuik di Pariaman, Sumatra Barat. Untuk mengenak cucu nabi besar
Muhammad SAW dalam membela Islam.

3.        Budaya Dhug Dher di semarang, untuk pertanda dimulainya bulan
Ramadhan atau bulan puasa.

4.        Upacara Sekaten di Yogyakarta. Untuk memperingati hari lahirnya nabi
Muhammad SAW.

5.       Seni tradisional Betawi yang bercorak Islam Adalam Gambang Kromong, Orks Gambut, dan Lenong.




























KESIMPULAN



Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah, hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di daerah Sumatera.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
sejarah islam di nusantara sangat erat kaitannya dengan perjalanan dan Perkembangan kerajaan – kerajaan islam yang pernah ada  di nusantara (Indonesia), serta peninggalan-peninggalan kerajaan tersebut adalah bukti kuat dan bukti penting terhadap pengetahuan sejarah – sejarah islam nusantara (Indonesia).






DAFTAR PUSTAKA

                                                 
  Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.

 Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 29–30. ISBN 0-300-10518-5.

^http://gernot-katzers-spice pages.com/engl/spice_geo.html#asia_southeast

  ^ a b c Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (November 1942). "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly 2 (1): 48–57.

  ^ Nieuwenhuijze (1958), p. 35.
                                                                                                  


  ^ Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. hlm. 169.

  ^ Damais, Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.

  ^ Ma Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores' (1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press, 1970



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sejarah islam Asia Tenggara"

Post a Comment