Sejarah islam Asia Tenggara
BAB.
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Proses
menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara
sebelumnya. Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur
sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran
Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara.
Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang
pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi
barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan
gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa
proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun
menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia,
bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga
pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan
di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat
Nusantara kala itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses
konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah,
tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat
tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang
lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau
seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang
Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas
penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses
yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap
berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern.
Namun
demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta"
(berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi
"Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat
setelah penaklukan ini.
BAB. II
PEMBAHASAN
2.1 AWAL SEJARAH ISLAM DINUSANTARA
Bukti
sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak
informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas.
Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik
tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap
awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat
menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu
tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu
dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka
untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada
penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik
negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada
mengeksplorasi yang lama.
Sebelum
Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah
hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana
Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan
Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan
bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang
Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara
dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan
pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan
maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian
awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan
Abbasiyah, menurut
kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan
komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.
Kehadiran
Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi
pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di
Nusantara, Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di
Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah.
Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H
(1082 M),
meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak
diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi
Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China
pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama
tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya
pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu
Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya
sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.
2.2 MASUKNYA
ISLAM KE NUSANTARA MENURUT
WILAYAH
Pada
awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan
cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad
ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim
terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa
beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur
yang Hindu-Buddha sering berperang. Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi
bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran
terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar
dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.
2.2.1 Islam di Sumatera
Utara
Bukti
yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari
dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis
karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki
dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan
representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum
pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat
taat".
Di
Kampong
Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman
Syah, cucu dari Sultan Johan
Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang
menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh
Darussalam dan bahwa
kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan
Hindu-Buddha Indra
Purba yang
beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan
kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatera
didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk
sultan pertama dan kedua Kesultanan
Pedir (sekarang
Pidie), Muzaffar
Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf
Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi
negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat
di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada
1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara
Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam.
Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah
penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan
ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai
bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah
bandar produksi.
Buku
ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan
pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515,
dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di
Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera
adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan
Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian
besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga
mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh
Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.
Setelah
kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan
rempah-rempah,
Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan
Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim
laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan
kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer
dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão
Mendes Pinto,
armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.
2.2.2 Jawa Tengah
dan Jawa Timur
Prasasti-prasasti
dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada
banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan
kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan)
menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat
terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit
Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang
merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs
(1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan
bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa
Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk
kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan
perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan
para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi
mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk
diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab
dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.
Pada
awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal
di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah
pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa
wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi
ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di
pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu
mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan
dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai
dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya
Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus
berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.
Kapan
orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa,
Ma Huan, utusan Kaisar Yongle, mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai
Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis
orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah
Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah
dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa
Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa
sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah
nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan
menandai makam Maulana Malik
Ibrahim. Namun
bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak
memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi
Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang
tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di
penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah
meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.
2.2.3 Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan
memang memusuhi Islam. Sebuah penaklukan oleh Muslim di
daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van
Bruinessen berfokus
pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses
Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam
kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan
raja, kekuatan magis dan legitimasi politik." Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.
2.2.4 Daerah lain
Tidak
ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di
daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.
2.3 LEGENDA
NUSANTARA DAN MELAYU
Meskipun
kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara
luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang
spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber
seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara
menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim
asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup
menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di
Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[
Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi
ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke
Islam.
Ricklefs
berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang
dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini
berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui
wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan
kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam
awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke
bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda
Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini. Sumber-sumber
ini termasuk:
- Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu
Kuno yang
menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama
didirikan.
- Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno,
yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi
Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
- Babad Tanah
Jawi
- nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana
konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada
Wali Sanga ("sembilan orang suci").
- Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
2.4
KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Agama
Islam mulai berkembang di jazirah Arab pada tahun 622 M. Mula – mula, Agama
Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, setelah beliau mendapat wahyu dari ALLAH
SWT. Dalam waktu singkat, Agama Islam tersebar luas di Indonesia. Waktu itu,
kekuatan Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya sudah mulai melemah. Kerajaan –
kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya mulai mlepaskan diri dan raja –
rajanya memeluk Agama Islam. Setelah itu, bermunculan Kerajaan Islam di Indonesia.
2.4.1 Kerajaan Samudra Pasai
Agama Islam masuk ke Indonesia
sekitar abad ke-13. Kerajaan Islam yang pertama muncul di Indosenia ialah
Kerajaan Samudra pasai. Kerajaan ini terletak di Pantai Timur Sumatra, sekitar
Sungai Jambu Air dan Sungai Pasai, daerah Lhokseumawe.
Pada awalnya, Kerajaan Samudra Pasai
terdiri atas 2 Daerah, yaitu Samudra dan Pasai. Kedua daerah itu telah lama
menjadi persinggahan dan bermukim para saudagar
dari Arab, Persia, dan India. Sesudah kekuasaan Islam
muncul, kedua daerah ini disatukan menjadi Kerajaan Samudra Pasai.
2.4.2 Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh berdiri pada abad
ke-16. Kerajaan ini terletak di tepi Selat Malaka. Pusat Kerajaan Aceh terdapat
dikutara (banda Aceh sekarang). Pada tahun 1511 M, bangsa portugis menguasai
Malaka. Dari Malaka, Portugis kemudian menguasai Samudra Pasai. Sejak itu, para
pedagang Islam mencari pelabuhan lain untuk menghindari Portugis. Pelabuhan
baru itu adalah Aceh. Dari sinilah muncul Kerajaan baru, yaitu Kerajaan Aceh.
2.4.3 Kerajaan Demak
Pada abad ke-16 muncul kerajaan
Islam pertama di pulau Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Semula Demak merupakan salah
satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Keika Majapahit runtuh
akibat perang saudara pada tahun 1478, pusat kerajaan Hindu berpindah ke kuling
dan akhirnya ke Daha (Kediri). Runtuhnya Majapahit menyebabkan bangkitnya Demak
menjadi kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
2.4.4
Kerajaan Banten
Pada awal abad ke-16, daerah jawa Barat dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran yang
beragama Hindu. Dalam waktu yang singkat, seluruh pantai utara Jawa Barat dapat
dikuasai oleh Fatahillah. Agama Islam lambat laun tersebar di Jawa Barat.
Fatahillah kemudian menjadi wali dan mendapat gelar Sunan Gunung Jati dan
berkedudukan di Cirebon. Pada tahun 1522, putera Fatahillah yang bernama
Hasanuddin diangkat menjadi penguasa di Banten. Fatahillah sendiri mendirikan
pusat kegiatan keagamaan di Gunung Jati, Cirebon, sampai beliau wafat pada
tahun 1570. Jadi pada awalnya, kerajaan Banten merupakan daerah kekuasaan
Kerajaan Demak.
2.4.5 Kerajaan ternate dan Tidore
Sejak abad ke-13, maluku sudah ramai dikunjungi oleh
pedagang-pedagang Islam dari Jaawa dan Melayu.seiring dengan ramainya
perdagangan, berdatanglah pula para mubaligh dari Jawa Timur untuk mengajarkan
Agama Islam. Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapatkan pengaruh
Islam dari para pedagang Jawa dan Melayu. Selain Kerajaan Ternate, juga
terdapat Kerajaan Tidore. Raja tidore yang terkenal ialah Pangeran Nuku.
2.5
PENINGGALAN KERAJAAN ISLAM DINUSANTARA
Islam masuk ke Indonesia sekitar
abad ke-11 sampai ke-13. Hal ini dibuktikan dengan berita Marco Polo (1297) dan
berita Inbu Batutah abad ke-14. Sebagaimana kerajaan Hindu dan Budha, kerajaan
Islam di Indonesia juga mninggalkan berbagai peninggalan sejarah peninggalan
itu berupa bangunan tempat ibadah, makam atau kuburan, pondok perastren , dan
lain-lain.
2.5.1 Peinggalan berupa masjid
1.
Masjid
Raya Baiturrahman
2.
Masjid
Raya Medan
3.
Masjid
Raya Banten
4.
Masjid
Demak
5.
Masjid
Agung Yogyakarta
2.5.2 Peninggalan berupa istana
Istana
raja pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya,
serta pembesar kerajaan lainnya. Beberapa istana peninggalan sejarah berorak
Islam.
1.
Istana Maemun
2. Istana Siak Sri Inderapura
3. Keraton Yogyakarta
2.5.3 Peninggala berupa budaya
Masuknya
Islam ke – Indonesia membawa pengaruh pada kebiasaan dan prilaku masyarakat.
Kebiasaan atau prilaku masyarakat disebut budaya. Beberapa budaya yang bercorak
Islam di Indonesia.
1.
Upacara Grebeg Besar di Demak. Upacara ini dilaksanakan
bertepatan Hari
Raya Idul Adha atau Idul Qurban.
2.
Pesta Tabuik di Pariaman, Sumatra Barat. Untuk mengenak cucu
nabi besar
Muhammad SAW dalam membela Islam.
3.
Budaya Dhug Dher di semarang, untuk pertanda dimulainya
bulan
Ramadhan atau bulan puasa.
4.
Upacara Sekaten di Yogyakarta. Untuk memperingati hari
lahirnya nabi
Muhammad SAW.
5.
Seni tradisional Betawi yang
bercorak Islam Adalam Gambang Kromong, Orks Gambut, dan Lenong.
KESIMPULAN
Dari
teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses
konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan
tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan
iman, dan mengadopsi nama
Arab. Di sisi lain, ketika
peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa
tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian
teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam
lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah, hal ini
konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam
kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di daerah
Sumatera.
Penyebaran
Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara.
Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang
pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi
barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan
gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa
proses konversi ini rumit dan lambat.
sejarah
islam di nusantara sangat erat kaitannya dengan perjalanan dan Perkembangan
kerajaan – kerajaan islam yang pernah ada di nusantara (Indonesia), serta peninggalan-peninggalan
kerajaan tersebut adalah bukti kuat dan bukti penting terhadap pengetahuan
sejarah – sejarah islam nusantara (Indonesia).
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300,
2nd Edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.
Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia:
Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press.
hlm. 29–30. ISBN 0-300-10518-5.
^http://gernot-katzers-spice
pages.com/engl/spice_geo.html#asia_southeast
^ a b c Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (November 1942).
"Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly
2 (1): 48–57.
^
Nieuwenhuijze (1958), p. 35.
^
Azra, Azyumardi (2006). Islam
in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. hlm. 169.
^
Damais, Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de
Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.
^
Ma Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores'
(1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press, 1970
^
Martin van Bruinessen (1995). "Shari`a court, tarekat and pesantren: religious
institutions in the sultanate of Banten". Archipel 50: 165–200. doi:10.3406/arch.1995.3069
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah islam Asia Tenggara"
Post a Comment