Masa
dimana umat Islam sudah bisa melakukan penyebaran dakwah secara opensif adalah
bagian dari periodeisasi dakwah. Setelah sebelumnya umat Islam berada pada
periode yang lemah, bahkan teramat lemah di masa awalnya, sampai-sampai untuk
sekedar menunjukkan identitas sebagai muslim pun tidak mungkin.
Masa
sulit ini pernah dialami Rasulullah SAW dan para shahabatnya terutama tiga
tahun pertama di Mekkah dalam periode dakwah sirriyah. Tidak ada seorang pun
yang diajak masuk Islam kecuali Rasulullah SAW yakin bahwa dia pasti menerima
Islam. Kalau ada kemungkinan menerima dan kemungkinan tidak menerima, maka
tidak diperioritaskan. Masa sulit berikutnya adalah masa penindasan oleh kafir
quraisy secara semena-mena namun tidak boleh melakukan perlawanan. Jadi mereka
harus mengalami masa dimana setiap hari mereka dicerca, dimaki, disiksa dan
dianiaya, tapi sama sekali tidak boleh membalas apalagi menyerang. Masa
berikutnya adalah ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Masa dilalui dengan
pola mengajak objek dakwah dengan bentuk himbauan. Kepada para penduduk arab
dan para penguasa sekitarnya, Rasulullah SAW menawarkan Islam baik-baik dan
sama sekali tidak ada ancaman atau sekedar ultimatum. Kalau diterima ya
Alhamdulillah dan kalau tidak ya bersabar saja.
Barulah
setelah konsolidasi internal di Madinah sudah sedemikian solid serta angkatan
perang pun sudah memadai, para raja yang sejak awal sudah diajak masuk Islam
tapi tidak menampakkan persahabatan bahwa terkesan menantang dan memusuhi,
mulai diberi ultimatum. Bentuknya adalah diminta untuk memilih satu dari tiga
pilihan.
Pertama,
masuk Islam. Bila raja mau masuk Islam yang sudah sejak awal para raja sudah
mendengar beritanya dan juga nota bene banyak diantara rakyatnya yang sudah
masuk Islam, maka raja itu akan tetap menjadi raja dan berkuasa di negerinya
secara mutlak. Bahkan Rasulullah SAW menjanjikan kepada para raja itu akan
mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala masuk Islam pada dirinya dan pahala
masuk Islam rakyatnya.
Kedua,
kalau raja menolak masuk Islam, tidak akan dipaksakan. Tapi raja harus menjamin
keberlangsungan dakwah Islam di negerinya dan juga harus menyatakan bekerjasama
dengan daulah Islamiyah. Karena Daulah Islamiyah lebih besar dan lebih kuat,
maka raja diminta memberikan jizyah (pajak) kepada daulah Islamiyah. Pajak ini
bukan berbentuk pungutan apalagi upeti. Tapi pajak ini adalah bayaran atas
keamanan yang diberikan daulah Islam serta biaya pembelaan apabila kerajaan itu
diperangi kerajaan lain. Selain itu merupakan jaminan atas kerukunan dan
kesetiaan dari mereka untuk hidup berdampingan dengan daulah Islam yang besar.
Karena pada dasarnya keberlangsungan kerajaan itu ada di bawah tanggung jawab
daulah Islam.
Ketiga,
bila alternatif pertama dan kedua pun ditolak, maka artinya raja itu tidak mau
bekerjasama dan tidak menunjukkan itikad baik untuk hidup berdampingan dengan
daulah Islam. Maka dalam konteks itu, alternatif ketiga menjadi pilihan, yaitu
perang.
Perlu
dicatat bahwa peperangan pada masa penyebaran Islam dilakukan sebagai
alternatif terakhir setelah sebelumnya dilakukan berbagai aktifitas di dakwah
negeri tersebut. Banyak raja dan penguasa yang tidak atau belum rela masuk
Islam, tapi mereka menyatakan siap hidup berdampingan dengan muslimin dan siap
membayar jizyah. Kepada raja dan penguasa yang seperti ini, umat Islam tidak
pernah menyerang atau menyerbu.
Tapi
ada juga beberapa raja yang pongah, angkuh dan selalu mencari kesempatan untuk
menelikung dari belakang. Persia dan Romawi adalah contoh mereka yang sama
sekali tidak menunjukkan itikad baik, bahkan sudah terbukti selalu berada di
belakang semua keonaran dan kerusakan internal di tengah umat Islam. Kisra
penguasa Persia bahkan merobek-robek surat ajakan dakwah dari Rasulullah SAW.
Saat mendengar suratnya dirobek, beliau hanya berkata bahwa suatu hari nanti
negeri mereka akan dirobek-robek. Tentara kerajaan itu pun sering
memancing-mancing peperangan, menggangu penduduknya yang sudah masuk Islam
bahkan main ancam segala. Raja-raja pongah seperti inilah yang akan mendapat 3
ultimatum sebagaimana disebutkan di atas. Ultimatum itu bukan sekedar geretak
sambal tapi memang sudah diperhitungkan perimbangan kekuatan masing-masing.
Kalau raja mengambil alternatif yang ketiga yaitu perang, maka daulah Islam
harus siap meladeni. Contoh sederhananya seperti kondisi sekarang ini. AS
menjadi adi daya yang suka berlaku sewenang-wenang dan menjadi koboy yang doyan
main tembak. Ini semua adalah kelaliman sekaligus angkara murka yang dijalankan
atas nama sebuah negara. Hal yang sama dilakukan oleh para penguasa dunia di
masa Rasulullah SAW hidup.
Karena
itu bisa kita bayangkan betapa Rasulullah SAW dan para shahabatnya itu
benar-benar bernyali besar, karena bisa mengultimatum negara adidaya dan siap
meladeni perang sampai kebenaran itu bisa tegak. Dan sejarah memang telah
mencatat dalam tinta emas bahwa dua peradaban besar dunia itu (Romawi dan
Persia) tumbang berhadapan dengan kekuatan pasukan Islam. Jadi bila kita
simpulkan, peperangan (baca: penyebaran) Islam ke berbagai wilayah dunia tidak
lain adalah dalam rangka meladeni para penjahat yang menjadi raja-raja tiran di
berbagai belahan bumi. Para raja yang bengis dan kejam itu memang sudah
selayaknya diberi pelajaran. Kalau rakyatnya tidak mampu, maka menjadi
kewajiban daulah Islam saat itu untuk mengambil posisi sebagai benteng
pertahanan terakhir dan menjadi konsentrasi pusat kekuatan dan perlawanan menentang
tiran itu.
Salah
satu bukti bahwa penyebaran Islam itu bukan penjajahan atau pemaksaan kehendak
adalah kesaksian dari bangsa-bangsa itu yang merasa bahagia bisa terbebas dari
raja mereka sendiri yang kerjanya memeras rakyat. Mereka merasa lebih nyaman dan
aman negeri dipimpin oleh umat Islam karena mereka tahu persis bahwa umat Islam
tidak pernah mengusik-usik urusan agama. Mereka berhak untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya meski dalam posisi minoritas. Toleransi yang tinggi dan
keadilan umat Islam bila berkuasa di suatu negeri sedemikian masyhur di masa
itu. Sehingga rakyat Mesir pun merasa perlu mengundang umat Islam agar segera
saja ‘menjajah’ negeri mereka. Lebih baik hidup di bawah kekuatan muslimin dari
pada di bawah raja mereka sendiri.
Islam mulai berkembang secara
spektakuler sejak hijrah Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah, yang sebelumnya
disebut Yastrib. Ajaran-ajaran agama ini cenderung mengarah kepada persamaan
dan penghargaan pada harkat kemanusiaan, yang pada saat itu masih masih merupakan
barang langka. Selain itu, yang menyampaikannya dalah figur yang dikenal dengan
keagungan akhlak, kejujuran dalam bicara, dan kesederhanaan dalam hidupnya,
yang semua sifat itu diakui memang ada pada diri Rasulullah saw. Tidak aneh,
bila agama ini segera menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang
selama ini terpinggirkan. Karena perkembangan yang luar biasa ini, Sayed Ameer
Ali mengatakan bahwa agama yang dibawa Rasulullah saw. ini menyebar dengan
sangat cepat di muka bumi, sehingga dinilai sebagai suatu gejala yang amat
mengagumkan dalam sejarah agama-agama.[1] Islam
setahap demi setahap menyebar dan di peluk oleh berbagai suku di Jazirah Arab.
Pada sisi lain, sejalan dengan perkembangan Islam, komunitas yang didasarkan
pada ajaran agama ini muncul dan mulai meluas sebagai suatu kekuatan politik.
Dalam wakyang tidak terlalu lama, kekuatan ini segera mengejawantah menjadi
negar Islam yang kuat.[2] Pada saat Rasulullah saw. wafat, Islam sebagai agama telah
dipeluk oleh semua suku bangsa Arab dan secara politis seluruh Jazirah Arab
telah pula berada di bwah kekuasaan pemerintahan Islam.
Demikian hebatnya perkembangan
Islam, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Hal yang sedemikian ini tak
pelak lagi telah mengundang berbagai komentar, baik dari kalangan muslim maupun
non-muslim. Di antara mereka ada yang mengemukakan pendapat positif, tetapi
banyak pula yang ungkapannya cenderung mengarah pada hal yang negative. Yang
bernada positif berpendapat bahwa semangat yang di bawa agama ini sungguh sangat
besar, sehingga hal itu mampu membangkitkan dorongan untuk mengembangkannya.
Karena Islam suatu bangsa yang sebelumnya tidak disebut dalam sejarah menjadi
sangat popular dengan kekuatan politiknya dikalangan para sejarawan.
Komunitas
ini juga kemudian dikenal dengan peradabannya yang sangat mengagumkan, sehingga
sanggup mewarnai kemajuan umat manusia. Inilah kesan positif dari kemunculan
dan perkembangan Islam yang memberikan pengaruh hingga sekarang. Sedangkan yang
bernada negative berpendapat bahwa dibalik perkembangan pesat yang memang
mengagumkan itu, ada sesuatu yang dinilai kurang sedap dalam pandangan mereka.
Hal yang sedemikian ini diakibatkan oleh perkembangan dan penyebarannya
dipengaruhi dengan kuat oleh semangat penakhlukan yang mengandalkan ketajaman
pedang. Denagn demikian berkembangnya Islam yang sangat spektakuler itu tidak
lain karena disebarkan dengan kekuatan pasukan bersenjata. Inilah kesan yang
kemudian selalu diembuskan dengan tujuan untuk mendiskreditkan keberadaannya.
Logika sebaliknya dari pemikiran ini adalah bahwa bila saja perluasannya
dilakukan dengan jalan damai, kemungkinan fenomena yang dapat disaksikan
tidaklah seperti yang terlihat selanjutnya.
Islam disebarkan dengan pedang.
Inilah pendapat sebagian orang, terutama mereka yang termasuk kelompok
orientalis dan yang kurang senang kepada agama ini. Pendapat demikian tentu
menuai beragam respons dari umat Islam sendiri dan juga dari mereka yang
menilainya secara jujur. Sebagian besar pemeluk agama ini jelas tidak sependapat
dengan ungkapan tersebut. Kendati demikian, ada baiknya juga bila diungkapkan
bahwa dalam sumber-sumber utama ajaran Islam sendiri terdapat dalil-dalil
tekstual yang melegitimasi kebenaran pendapat tersebut. Di antaranya adalah
yang berasal dari hadits Nabi saw.riwayat Imam Bukhari yang berasal dari
Abdullah bin Umar bin khathab, yaitu:
“Abdullah bin Muhammad al-Musnadi
berkata; ketika member tahu kami, bahwa Abu Rawh al-Harami bin Umarah berkata
bahwa Syu’bah menerima berita dari Waqid bin Muhammad yang berkata, “saya
mendengar ayahku berbicarqa tentang (berita dari) Ibnu Umar bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sehingga mereka
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah,
mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mengerjakan itu (semua) maka
mereka terjaga dariku darah dan harta mereka hanya dengan kebenaran Islam, dan
perhitungan mereka (diserahkan) kepada Allah.” (HR.Al-Bukhari)[3]
Dalam hadist lain riwayat Imam Ahmad
yang juga berasal dari Ibnu Umar disebutkan hal yang senada, yaitu:
“Muhammad bin Yazid, yaitu
al-Wasithi, memberitahu bahwa Ibnu Tsauban membertahu dari Hassan bin ‘Athiyah
dari Abi Munib al-Jurasyi dari ibnu Umar yang berkata Rasulullah saw. bersabda:
“Saya diutus dengan pedang sehingga Allah disembah dan tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan rezeki ku ditetapkan di bawah bayangan panahku, serta telah ditetapkan
kehinaan dan kerendahan bagi yang menentang perintahku, dan siapa saja yang
meniru (perilaku) suatu umat maka ia termasuk kelompoknya. (HR. Ahmad)[4]
Kedua hadits tersebut mengisyaratkan
bahwa Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyebarkan Islam dengan pedang,
yaitu dengan memerangi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agama
sampai mereka memeluk agama ini, mengakui tidak ada tuhan selain Allah,
mengakui bahwa Muhammad itu rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat
sebagaimana yang telah ditetapkan. Siapa saja yang menentang dakwah ini, maka
ia wajib diperangi. Inilah makna yang tersurat dari hadits-hadits tersebut.
Berdasar kedua pesan ini,tidak aneh kalau muncul anggapan bahwa Islam itu
disebarkan dengan pedang.
Secara harfiah, hadits-hadits
tersebut memang menyiratkan makna seperti yang telah dipaparkan, yaitu
penyebaran Islam dengan memerangi orang yang tidak mau memeluknya. Meskipun
begitu, kesan ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman secara umum dalam
penyebaran agama. Hal yang sedemikian ini disebabkan oleh adanya fakta lain
yang berbeda dari yang tersurat dalam pesan Rasulullah saw. sendiri adalah
wahyu Allah yang tercantum dalam surat al-Baqarah [2]: 256, yaitu:
“Tidak ada paksaan dalam
(memeluk) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
salah. Karena itu sapa saja yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah,
mka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqoroh [2]:
256)
Ayat ini turun disebabkan adanya
peristiwa yang berkaitan dengan Hashin dari golongan Anshar, yang berasal dari
Bani Salim biun A’uf. Ketika itu ia mempunyai dua orang anak yang memeluk agama
Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai jawabannya, yaitu bahwa
umat Islam (termasuk Rasulullah saw) tidak diperbolehkan untuk memaksa
seseorang untuk memeluk Islam.[5]
Informasi ini menjelaskan bahwa
memaksa anak sendiri untuk memeluk Islam saja tidak diperbolehkan. Rasulullah
saw. dengan sangat elegan, berdasar wahyu ini, menyampaikan bahwa agama
menyerupakan hak setiap orang untuk menentukannya, sehingga umat Islam tidak
punya hak untuk memaksa orang lain memeluknya. Logika sebaliknya, atau dalam
istilah ilmu ushul al-Fiqh disebut dengan mafhum al-Mukhalafah,
adalah kalau memaksa anak sendiri saja tidak diperbolehkan, apalagi memaksa
orang lain atau memeranginya untuk tujuan yang sama. Dengan demikian berdasar
ayat ini dapat dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam disebarkan
dengan pedang adalah jelas tidak benar. Rasulullah saw. tentunya tidak akan
memberikan informasi yang bertentangan dengan wahyu Allah tersebut.
Perlu juga diperhatikan bahwa ayat
yang melarang adanya pemaksaan untuk memeluk Islam merupakan ayat Madaniah,
yaitu yang turun sesudah hijrah Rasulullah saw. pada saat itu, umat Islam sudah
merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan tidak takut menghadapi musuh. Fakta
ini menunjukkan bahwa Islam ternyata mengajarkan agar pemeluknya tidak bersikap
sewenang-wenang ketika mereka dalam keadaan kuat. Kekuatan pasukan yang
dimiliki umat Islam bukan ditujukan untuk mempertahankan diri dan membela
mereka yang tertindas karena keyakinannya. Menurut Marcel A. Boisard, selain
tujuan di atas, kandungan ayat ini juga ditujukan kepada umat non-muslim agar
mereka juga tidak memaksakan keyakinan kepada siapa saja atau lebih jelasnya
bila ada orang yang ingin memeluk Islam, maka mereka pula tidak diperbolehkan
untuk memaksanya untuk membatalkan niatnya untuk memeluk Islam. Dengan logika
ini, adalah wajar bila Islam menganjurkan agar umatnya menyiapkan kekuatan
untuk melindungi siapa saja yang tertindas kelompok lain dan menderita karena
keyakinan atau agamanya.[6]
Itulah fakta-fakta yang diungkapkan
dalam al-Qur’an. Namun, bagaimana halnya dengan pesan Rasulullah saw. yang
terkandung dalam dua hadits tersebut. Apakah keduanya, yang secara tersurat
bertentangan dengan kandungan ayat, dianggap tidak benar dan tidak dapat
dijadikan dasar dari munculnya anggapan tidak benar dan tidak dapat dijadikan
dasar dari munculnya anggapan seperti yang telah diungkapkan, padahal
hadits-hadits itu dinilai shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil hukum.
Di sini secara sekilas tampak adanya pertentangan antara ajaran al-Qur’an dan
tuntunan Rasulullah saw. dalam haditsnya, padahal kedua sumber itu diyakini
berasal dari Allah juga, sehingga adanya pertentangan di antara keduanya
merupakan sesuatu yang sulit diterima. Berkaitan dengan kasus semacam ini,
biasanya para ulama menyelesaikan dengan mempromikan tuntunan-tuntunan yang
terkesan bertentangan itu. Para ulama dan cendikiawan Muslim, seperti Muhammad
Quhub[7] dan Muhammad As-sayyid Ahmad al-Wakil,[8] dalam rangka
memberikan penjelasan tentang hal tersebut, menyebutkan beberapa persoalan yang
dihubungkan dengan masalah-masalah yang mesti dipahami terlebih dahulu.
Persoalan-persoalan itu adalah seperti yang dikemukakan berikut ini.
Masalah pertama yang mesti diperhatikan
adalah bahwa Islam merupakan agama dakwah. Ajarannya menganjurkan agar
setiap pemeluknya selalu mengajak orang lain untuk mememluk agama ini. Oleh
karena itu, sejak kemunculannya, Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan
generasi-generasi berikutnya samapai sekarang selalu berupaya untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada mesyarakat yang belum memeluknya.
Tuntunan Islam menegaskan bahwa ajakan untuk memeluk agama ini mesti dilakukan
dengan cara yang bijaksan, nasihat yang baik, dan diskusi yang dapat
mewncerahkan. Pesan ilahi yang menegaskan tuntutnan ini adalah firman-Nya yang
tercantum dalam Surah an-Nahl [16]: 125, yaitu:
“Ajaklah (manusia) ke jalan
Tuhanmu dengan bijaksana, dan nasehat (pelajaran) yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.an-Nahl [16]:125)
Ajaran Islam melarang sama sekali
pemaksaan terhadap non muslim untuk memeluk agama ini, sebagaimana telah
diungkapkan pada surah al-Baqarah ayat 256 yang dikutip sebelumnya. Selain itu,
fakta sejarah juga menunjukkan hal demikian, seperti yang diungkapkan oleh
Marshall G.S. Hodgson bahwa umat Kristiani Najran, suatu daerah yang terdapat
di Yaman, siap untuk tunduk pada pemerintah di Madinah, namun mereka bersedia
untuk memeluk Islam dan tetap pada keyakinan agamanya. Ternyata Rasulullah saw.
meluluskan keinginan mereka dan memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk
tetap memeluk agama mereka semula.[9] Thomas W.
Arnold, seorang orientalis yang banyak menulis buku tentang Islam,
mengungkapkan bahwa fakta adanya orang Yahudi dan Nasrani di Negara-negara
Islam sejak dahulu sampai kini merupakan bukti yang tidak dapat diragukan bahwa
Islam tidak pernah memaksa orang memeluk agamanya dengan kekuatan pedang.[10]
Masalah kedua adalah bahwa umat
Islam pada saat itu merupakan komunitas yang baru tumbuh. Kehadirannya dinilai
sebagai duri bagi suku-suku bangsa yang terdapat di jazirah Arab. Keberadaannya
tidak pernah terlepas dari adanya kekhawatiran terhadap keinginan pihak lain
untuk menumpas dan menghapusnya dari muka bumi. Umat Islam dituntut untuk
selalu siaga mempertahankan eksitensinya dari rongrongan yang berasal
dari mereka yang tidak menyukai kehadirannya di muka bumi. Mereka mesti selalu
siap menghadi pmusuh, yang kapan saja dapat dating untuk menyerang. Oleh karena
itu, tidak salah bila umat ini terpaksa memakia kekerasan dengan mengangkat senjata
untuk membela diri. Dengan dasar ini, Marcel A. Boisard menyebutkan bahwa
fenomena kemunculan Islam ditandai dengan tiga konsep utama dalam hubungan
dengan pihak luar yaitu takwa, siap berperang dan kebesaran jiwa.[11] Dengan
demikian, kondisi dan danya tantangan dari luar merupakan factor utama dari
selalu siapnya umat Islam pada awl perkembngannya dengan senjata. Dengan kata
lain kesiapan mereka dengan pedang atau senjata adalah dalam rangka
mempertahankan diri dari serangan musuh. Kalupun terjadi penakhlukan dengan
senjata yang dilakukan pasukan Islam terhadap suatu daerah, dan kemudian
terjadi konversi dari masyarakat yang ditakhlukan, dan mereka memeluk Islam,
maka itu semua berjalan dengan sukarela, bukan karena adanya tekanan, paksaan
atau apa pun namanya.
Masalah ketiga adalah bahwa Islam
sesungguhnya meruopakan agama yang mencintai perdamaian dan bukan agama yang
mengandalkan penyebarannya dengan perang. Kata salam yang artinya damai,
selamat atau keselamatan dan sejahtera atau kesejahteraan banyak disebut dalam
al-Qur’an. Rasulullah saw. sendiri selalu mengajak umat lain untuk memeluk
Islam dengan cara damai. Ajakan untuk hidup berdampingan dalam suasana damai
selalu digaungkan. Pesan-pesan beliau tentang perdamaian ini juga terekam dalam
hadits-haditsnya, di antaranya:
“Rasulullah saw. bersabda,
sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai cara penghormatan bagi umat kita,
dan juga sebagai tanda kesejahteraan (ketentraman”) bagoi orang-orang dzimmi
(non-muslim yang tinggal di daerah kekuasaan Islam) di lingkungan kita.”
Pada sisi lain, kenyataan tentang
adanya peperangan dalam perjalanan sejarah Islam merupakan fakta yang tidak
dapat di sangka. Perang memang diperintahkan dalam Islam seperti yang tercantum
dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun yang dipesankan Rasulullah saw. sendiri dalam
berbagai haditsnya. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa perang itu hanya
diperintahkan ketika umat Islam dalam keadaan terancam. Muhammad as-Sayyid
Ahmad al-Wakil menegaskan bahwa Islam tidak melaksanakan perang penghancuran.
Karena itu, menurut pendapatnya, perang dalam Islam itu ada dua macam. Yang
pertama adalah perang yang kejam dengan tujuan utama untuk menguasai,
membanggakan diri, memperbudak, menghina dan memonopoli hasil suatu bangsa.
Perang semacam ini merupakan sesuatu yang tidak disukai dan Allah secara tegas
melarangnya. Pelarangannya disebabkan oleh kenyataan bahwa perang seperti ini
hanya merupakan pellanggaran terhadap hak-hak manusia.[12] Pendapat demikian juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq yang
mengatakan bahwa perang yang bersifat ekspansif atau perluasan daerah,
perluasan pengaruh, motivasi mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang
menyebabkan, mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan
kemusnahan suatu umat atau peradaban yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah terlarang.[13] Yang
kedua adalah perang yang tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
membebaskan mesyarakat dari pemaksaaan dalam berakidah, untuk melindungi
kesinambungan daklwah Islam, dan untuk mempertahankan diri dari serangan atau
ancaman musuh. Perang seperti ini adalah yang diperintahkan dalam Islam.[14] Pada kenyataannya, banyak masyarakat atau bangsa yang tidak
menyukai perang, namun karena keadaan yang memaksa seperti adanya serangan dari
luar yang bertujuan merebut tanah air atau untuk menguasai mereka, maka tidak
ada jalan lain kecuali mesti melakukan perang pula. Tuntunan ilahi yang
menegaskan prinsip ini antara lain:
“Dan perangilah jlan Allah
orang-orang yang menerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(QS.Al-Baqoroh [2]:190)
Dalam ayat lain ditegaskan bahwa
perang ditujukan untuk menghilangkan ancaman dan hal-hal yang tidak sejalan
dengan aturan Allah. Ayat tentang tuntunan ini adalah:
“Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi,dan agama (ketaatan) itu menjadi hanya untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-oarang yang zalim.” (QS. Al-Baqoroh
[2]: 193)
Mempertimbangkan kenyataan di atas,
tampaknya diperlukan analisis secara historis dan sosiologis terhadap kandungan
pesan yang tercantum dalam dua Hadits Rasulullah saw. yang dikutip di atas.
Secara kesejarahan, dapat diketahui bahwa pada saat Rasulullah saw.
mengungkapakan pesannya, hal itu di latarbelakangi oleh suasana yang tidak
kondusif bagi kesinambungan eksitensi Islam dan umatnya. Pada masa itu,
berbagaii kelompok atau golongan di sekitar Madinah selalu mengintai dan
mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam. Mereka tidak senang bila umat
yang baru muncul ini berkembang dan menjadi kuat. Selagi masih lemah, komunitas
ini mesti dimusnahkan, demikian kira-kira pendapat mereka. Karena itulah,
mereka selalu berupaya setiap ada kesempatan untuk menghancurkannya, ketimbang
di kemudian hari menjadi pesaing atau bahkan menguasai mereka. Fakta sejarah
mengungkapkan bahwasannya pada saat itu memang terdapat ancaman-ancaman yang
mesti terus mewaspadai oleh masyarakat yang baru tumbuh ini. Ancaman pertama
datang dari suku penduduk Mekkah yang belum merelakan keberadaan Nabi Muhammad
saw. dan umatnya, walau mereka sudah berhijrah ke Madinah. Penduduk Mekkah
masih tetap merasa khawatir bahwa peran mereka dalam masalah kepamimpinan,
social, maupun ekonomi akan tereduksi atau bahkan hilang diambil oleh kekuatan
baru tersebut. Ancaman kedua yang dinilai juga sangat mengkhawatirkan dating
dari kelompok Yahudi yang tinggal di sekeliling Madinah. Yang terakhir ini
palng tidak mempunyai dua alas an, yaitu mereka tidak ingin melihat Nabi
Muhammad sebagai penyelamat, seperti yang disebut dalam kitab suci, dan adanya
keinginan untuk melestarikan dominasi ekonomi mereka di Madinah. Ancaman ketiga
dating dari orang Nasrani yang selalu menyebut Rasulullah saw. sebagai Nabi
palsu. Sedang ancaman keempat dating dari penduduk Madinah yang kelompok
sebagai kaum munafik yang selalu merongrong dari dalam. Inilah fenomena yang
dikenal pada masa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi
dari ungkapan Rasulullah saw. itu adalah karena danya ancaman serius yang
selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
Pada saat lain, ketika ancaman itu
dinilai tidak signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah saw. selalu
menganjurkan agar umat Islam selalu bertindak adil, jujur, dan berbuat baik
pada siapa saja yang tidak memusuhi atau memerangi. Allah menegaskan ajaran ini
dalam surah al-Mumtahanah [60]:8-9, yaitu:
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan orang-orang yang memerangi karena agama dan mengusir kamu dari
negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Siapa saja
yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS.Al-Mumtahanah[60]:8-9)
Sesudah Rasulullah saw. wafat,
ancaman terhadap Islam dan umatnya terus saja muncul. Hanya saja pada kurun
waktu ini, upaya tersebut dilakukan oleh dua kerajaan besar di sekitar jazirah
Arab, yaitu kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Kedua kerajaan besar ini tidak
senang dengan kemajuan Islam sebagai suatu kekuatan politik baru di
tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, keduanya selalu mencari kesempatan yang
baik untuk mengalahkan kekuatan Islam yang dipandang sebagai pesaing baru bagi
keduanya yang sangat mungkin berpotensi sebagai ancaman bagi keberadaan kedua
imperium tersebut.
Menghadapi situasi seperti ini, umat
Islam selalu dituntut untuk siaga setiap saat. Keadaan demikian tentu membuat
mereka merasa selalu terancam dan menjadikan mereka tidak tenang. Salah satu
upaya untuk mewujudkan ketentraman hidup adalah dengan menghilangkan ancaman
yang selalu menggelisahkan itu. Cara terbaik yang mesti dilakukan adalah
dengan lebih dahulu menyerang musuh yang dinilai memiliki potensi untuk
menyerang. Tampaknya, doktrin “menyerang adalah pertahanan diri yang paling
baik” juga sudah dilakukan oleh umat Islam pada masa itu. Dalam rangka
mewujudkan ketenangan hidup inilah, perang diperbolehkan dalam Islam.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat dipahami
dengan jelas ketidakbenaran anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang.
Hadiots Rasulullah saw. yang mengarah pada pengertian seperti itu mesti
dipahamai secara kontekstual, yaitu dalam suasana yang bagaimana pesan itu
diungkapkan. Lebih lanjut, dalam suasana yang berbeda dan umat Islam tidak
sedang berada dalam ancaman, maka kandungan dari pesan itu tentunya tidak dapat
diwujudkan. Pada masa kini, di saat bangsa-bangsa dunia menghendaki perdamaian
dengan tidak saling mengganggu antara satu dengan yang lain, maka doktrin
tentang perang mesti tidak lagi mengemuka. Sebaliknya, yang mesti ditegaskan
adalah ajaran tentang kedamaian, ketentraman, dan keselamatan yang juga
banayk diungkapkan baik dalam Al-Quran maupun pesan Rasulullah saw. Sendiri
dalam berbagai haditsnya.
Dakwah Rasulullah saw. untuk
mengajak umat manusia ke jalan Allah dilanjutkan oleh kaum Muslim sejak masa
sahabat, tabi’in, sampai sekarang. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan
persamaan dan penghargaan pada harkat dari berbagai bangsa di dunia.
Dalam praktiknya, kaum muslim selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam.
Bila mereka berkeberatan, umat Islam tetap memberikan kebebasan pada mereka
untuk tetap memeluk agamanya semula. Hanya saja, bagi mereka ini ditetapkan
untuk membayar jizyah (pajak perlindungan). Dengan adanya kebebasan ini,
tidak sedikit bangsa non-Arab yang dengan senang lebih memilih berada di bawah
kekuasaan pemerintahan Islam ketimabang dikuasai oleh kelompok lain yang
cenderung memaksa mereka untuk memeluk agama sang penguasa. Inilah salah satu
alas an dari perkembangan Islam yang sangat spektakuler secara politis.
Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamain. Ajaran ini merupakan ketetapan yang telah digariskan Allah dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, tuntunan-tuntunannya juga akan mengarah pada
terwujudnya kedamaian dan ketenteraman di dunia. Dengan arah yang demikian
doktrin yang mengacu pada tindak kekerasan atau yang menjurus pada penindasan
umat melalui kekuatan senjata, tanpa dibarengi alasan yang kuat pasti dilarang
dan tidak ditolerin. Dengan demikian anggapan bahwa Islam identik dengan
kekerasan adalah tidak benar. [hamdani anwar]
[1] Lihat
Sayed Ameer Ali, Api Islam, terj. HB Yasin, (Jakarta : Bulan Bintang,1978),
h.352.
[2] Lihat
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London : The MacMillan Press Ltd,1974),
h. 120.
[3] Imam
al-Bukhari, shahih al-Bukhari, jilid 1, h.42.
[4] Imam
Ahmad, Musnad Ahmad,jilid 10, h.404.
[5]
Qamaruddin Shaleh et al, Asbab an-Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974),h.81.
[6] Marcel A.
Boisard, Humanisme dalam Islam, HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1680),
h.273.
[7] Seorang
cendikiawan Muslim dari Mesir yang banyak menulis buku untuk menjelaskan ajaran
Islam dan menjawab kritikan para orientalis yang menilai ajaran dan umatnya
secara keliru. Di anatara karyanya adalah syubhathawl al-Islam. Buku ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul jawaban terhadap
alam pikiran barat yang keliru tentang Islam.
Belum ada tanggapan untuk "Perang masa Penyebaran Islam"
Post a Comment