HUBUNGAN ANTARA TASAWUF
DENGAN FIQIH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf
Oleh:
WARDANA KUSUMA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan
dengan hubungan antara Tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh
manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan Tuhan baik dengan
pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan
disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan
tentang akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu
tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan
sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa
adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka
dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait
dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan
kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya
bagaimana kontribusi ilmu keislaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
hakekat dari Ilmu Tasawuf?
2. Apa
hakekat dari Fiqih?
3.
Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf
dengan fiqih?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami hakekat
ilmu tasawuf
2.
Mengetahui dan memahami hakekat
fiqih
3.
Mengetahui dan memahami hubungan
Ilmu tasawuf dengan fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Tasawuf
1.
Pengertian Tasawuf
Istilah
"tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan
selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga
huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang
alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu
berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih.
Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang
berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang
berdiri di baris pertama dalam shalat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya
lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi
masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf
berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa
orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan
penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang
kasar sebagai simbol kesederhanaan.[1]
Harun
Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada
di hadirat Tuhan. Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau
menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang
berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati",
dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam
(kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia,
dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, dia melihat mereka.
Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam
Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "Mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul
Hasan Asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan
tasawuf sebagai "Praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan
ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad
Zorruq (1494 M.) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu
yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah,
dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan
pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam
batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan,
"Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu
memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak
akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba
(1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya anda belajar bagaimana
berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha Ada melalui penyucian
batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu
ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.[2]
2.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf
sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara
mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu
dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran
Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan
terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqamat yang
harus ditempuh sufi bebrbeda-beda, Abu
Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran,
kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus
mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang
dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut(
Al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan
selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia
merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya.
Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut
Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu: Peningkatan
moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa.
Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta
kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/nilai baik
dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud,
qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam
realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang
tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau
mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan
kebahagiaan. Sumber ajaran tasawuf adalah Al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya
terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf.
B.
Hakikat Ilmu
Fiqih
1.
Pengertian Fiqih
Fiqh
merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan
dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha
menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas
dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah
yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama,
akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi
dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.
a.
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut
bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
يفقهوا قولي واحلل عقدة من لساني.
Artinya: "Dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku."
( Thaha:27-28)
Pengertian fiqh
seperti di atas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah
At-Taubah: 122, Surah An-Nisa: 78:
قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول وإنا
لنراك فينا ضعيفا ولولا رهطك لرجمناك وما أنت علينا بعزيز
Artinya: “Mereka
berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah
diantara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam
kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami” (QS.
Hud:91)
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من
كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
Artinya: “Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.
(QS.
At-Taubah:122)
أينما تكونوا يدرككم الموت ولو كنتم في بروج
مشيدة وإن تصبهم حسنة يقولوا هذه من عند الله وإن تصبهم سيئة يقولوا هذه من عندك قل
كل من عند الله فما لهؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا
Artinya: “Di mana
saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa
sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah".
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikit pun?” (QS. An-Nisa’:78)[3]
b.
Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam
terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami
oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi
kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi
masing-masing generasi;
1)
Pengertian fiqh dalam terminologi
generasi Awal
Dalam pemahaman
generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dan seterusnya.),
fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana
tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW
yang artinya: "Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar
suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada
yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang
Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang
fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At-Tirmdzi,
An-Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika
mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata: "Ya Allah, berikan
kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR
Bukhari Muslim)
Dalam penggalan
cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah
bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata: "Para
ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai
Rasulullah! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar
bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah
haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan
jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata: "Khususkan (saja) kepada
para fuqaha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang
universal seperti di atas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan
beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah
satu buku akidahnya dengan "Al-Fiqh Al-Akbar." Istilah fuqoha
dari pengertian fiqih di atas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana
disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini
dibedakan, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Dan akan datang pada
manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak;
mereka menghafal huruf-huruf Al-Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada
masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka
memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya
sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh
tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan di atas, Shadru Al-Syari'ah
Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi
pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan,
sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan
(kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang
dhahir saja."
Demikian juga
Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang
yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya
penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi
tersebut diperkuat dengan perkataan Al-Imam-Al Hasan Al-Bashri: "Orang
faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami
agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri
dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa
menasihati jama'ahnya."
2)
Pengertian fiqh dalam terminologi
Mutaakhirin
Dalam
terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum
Syara' yang bersifat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci. Syarah/penjelasan
definisi ini adalah:
a)
Hukum Syara': Hukum yang diambil
yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan
As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
b)
Yang bersifat amaliah: bukan yang
berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
c)
Dalil-dali yang rinci: seperti;
dalil wajibnya sholat adalah "Wa Aqiimus Sholaah", bukan
kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh.
Dengan
definisi di atas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah
(aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dan
sebagainya. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti;
apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus
dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih
spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh
dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah
dan argumen.
C.
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
Biasanya,
pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang
thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan
nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat
menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf
tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah
ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu
para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia
melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling
menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti di saat itu
terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan
tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli
sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih.
Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum
dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus
mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan
bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling
melengkapi.
Ilmu
tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan
corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan
khusu’ berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan
kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan
kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat
secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara
sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh
perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari
hukum-hukum Allah. Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid seperti
dikutip Sa’id Hawwa’ menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul
(mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum
syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, betul mereka sampai, tetapi ke Neraka
Saqar.
Dahulu
para ahli fiqih mengatakan, ”Barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami
fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia
ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” Tasawuf dan fiqih adalah dua disiplin
ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya,
berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi
berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak
mengamalkan ilmunya.
Jadi,
seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus
mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara
pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan
sekaligus mengamalkannnya. Syeikh Ar-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan
akhir para ulama dan para sufi dalah satu.” Pernyataan Ar-Rifa’i di atas
perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat
setiap orang dengan perkataan, ”Orang yang tidak memiliki syaikh, maka
syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang
berpropa ganda untuk syaikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak
tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas kami dapat mengambil
suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting
dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai.
Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf
adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan Allah sedekat
mungkin.
Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh
keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin
ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat
dipahami bahwa ilmu fikih, yang terkesan sangat formalistik lahiriyah,
menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu
tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa
suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur
dalam ilmu fikih.
DAFTAR PUSTAKA :
Asmaran,
AS., 1994, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali
Mahali,
A. Mujab, 2002, Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Al-Qur’an),
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustofa,
A., 2007, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
Belum ada tanggapan untuk "HUBUNGAN TASAWUF DENGAN FIQIH"
Post a Comment